Al-Ustadz Abu Umar Basyier Al-Maidani
Di saat gencar-gencarnya dakwah Ahlussunnah berkembang di negeri kita ini, sebagai kelanjutan dari pelbagai usaha dakwah yang telah ditempuh oleh bahkan kalangan juru dakwah semenjak dahulu, muncullah sebuah delema unik: Sururiyyah. Keunikan itu bukan dari fenomena
Sururiyyah, yang juga telah banyak dijelaskan oleh para ulama Ahlussunnah di berbagai negeri Islam, tapi justru pada penempatan kata tersebut dan penyematannya pada pribadi atau golongan tertentu yang terkesan ‘ngawur’ dan tidak didasari oleh unsur keikhlasan, tanpa bimbingan para ulama secara cermat, sehingga jadilah fenomena ini sebagai dilema unik, yang dijamin, di Indonesialah keunikan itu terlihat paling kelihatan!
Sungguh benar yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang artinya, “Sesungguhnya setan mengalir dalam tubuh menusia, tak ubahnya aliran darah.”i
Saat semangat generasi Islam dari berbagai lapisan sudah mulai menggeliat menggapai nilai-nilai Islam untuk diterapkan pada berbagai aspek kehidupan, generasi Ahlussunnah tentu saja berada di barisan terdepan. Generasi Ahlussunnah, atau juga dikenal dengan dengan salafiyyun, dari hari ke hari juga semakin menampakkan perwujudannya sebagai Thaifah Manshurah (golongan yang mendapat pertolongan) atau Firqatun Najiyah (golongan yang selamat). Komitmen mereka terhadap ajaran As-Sunnah semakin menonjol saja. Namun, setan memang tidak pernah beristirahat menggoda anak cucu Adam.
“Setan sudah putus asa disembah oleh kaum muslimin. Namun, yang ia upayakan adalah menanamkan hasad di antara mereka.”ii
Bibit kedengkian itulah yang mungkin semakin menggurita sehingga menjadi momok yang sangat menakutkan bagi generasi Ahlussunnah. Saat di antara mereka yang ‘menganggap suci diri sendiri’, di saat tidak sedikit di antara mereka ingin dianggap sebagai pelopor dakwah paling utama, di saat sekian banyak di antara mereka tenggelam dalam keasyikan mengecam dan mencaci maki kaum muslimin yang dianggap masih jauh dari kebenaran, saat itulah, bibit kedengkian meledak menjadi obor permusuhan. Yang menjadi korban tidak tanggung-tanggung, bukan saja kalangan juru dakwah yang memiliki pelbagai persoalan pribadi dengan mereka, tapi juga masyarakat awam yang tidak tahu menahu tentang permasalahan yang terjadi. Masyarakat awam yang sebenarnya sedang hangat-hangatnya semangat mereka untuk menuntut ilmu. Kelompok tersebut menggunakan kata “Sururiyyah” sebagai salah satu peluru andalan.iii
Apa Itu Sururiyyah?
Sururiyyah adalah bentuk kata yang disandarkan kepada nama seorang juru dakwah bernama ‘Muhammad surur Zainal Abidin’, yang konon bermukim di Birmingham, Inggris.
Pada awalnya, orang yang satu ini dikenal cukup konsis dengan pemahaman Ahlussunnah. Namun kemudian, terutama pasca perang teluk, ia mulai menggeluti sebuah pemikirang nyeleneh yang berusaha mengakomodir banyak pemikiran gerakan Al-Ikhwan Al-Muslimin kedalam pemikiran Ahlussunnah. Keyakinan atau pemikiran ‘gado-gado’ itu, kemudian ia kembangkan dan ia klaim sebagai penyempurnaan dari pemikiran Ahlussunnah klasik. Kampanyenya itu disambut oleh banyak tokoh dakwah di berbagai belahan dunia (khususnya dari kalangan Al-Ikhwan Al-Muslimun atau yang sepemikiran dengan mereka). Akhirnya, memang pemikiran itu menjadi musibah cukup menakutkan di kalangan kaum muslimin. Pemikiran itu kemudian juga dikenal sebagai pemikiran Quthbiyyah.
Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad mengatakan, “Kalangan Quthbiyyah (dinisbatkan kepada Sayyid Quthub yang merupakan pemola dasar pemikiran Sururiyyah secara teoritis) dan Sururiyyah tidak bisa dikatakan sebagai Ahlus Sunnah, karena kedua kelompok itu memiliki banyak penyelewengan dalam permasalahan-permasalahan yang sangat serius. Di antaranya, mereka memiliki keyakinan takfir (memfonis kafir sesama muslim) dengan tanpa dalil sedikitpun, baik secara istidlal akal maupun pemahaman nash. Mereka juga memiliki kesalahan yang sangat berat dan fatal berkaitan dengan perkara yang paling besar pula permasalahannya dalam agama Islam, yaitu permasalahan aqidah. Bahkan mereka memaklumkan perang secara hebat terhadap Ahlus Sunnah, baik sebagai pribadi rakyat biasa atau pemerintah.”iv
Melalui penjelasan dari banyak kalangan Ahlussunnah, dapat disimpulkan bahwa kalangan Sururiyyah memiliki cirri-ciri sebagai berikut:
1. Lebih banyak memfokuskan diri mengkaji pelbagai persoalan politis ketimbang mempelajari ilmu-ilmu syariat.
2. Kurang mengindahkan bimbingan dan fatwa para ulama, terutama bila bertentangan dengan hawa nafsu dan manhaj yang mereka gandrungi.
3. Seringkali mengecam dan melecehkan Ahlussunnah wal Jama’ah, bahkan menuduh mereka sebagai kaki tangan penguasa, bahkan kaki tangan Zionis Amerika. Namun anehnya, dalam berbagai persoalan fikih ibadah mereka banyak merujuk kepada para ulama tersebut. Sementara bila berbicara masalah politik dan jihad mereka justru mengecam para ulama.
4. Mereka menuduh ulama Ahlus Sunnah sebagai tidak mengetahui fiqhul waqi’ (pemahaman terhadap realita), para ulama dianggap tak ubahnya katak dalam tempurung.
5. Memiliki sikap loyalitas tinggi terhadap Muhammad Surur, Sayyid Quthub, Sayyid Hawa, Salman Audah dan selain mereka dan bara’ (berlepas diri) terhadap ulama-ulama as-Sunnah.
6. Sering melakukan berbagai tindakan politis praktis seperti demonstrasi, orasi politik, mobilisasi massa secara besar-besaran, dan sejenisnya.v
7. Bersikap lembut terhadap kalangan ahli bid’ah dan bekerjasama dengan mereka, tanpa berusaha menebarkan amar ma’ruf nahi munkar dan memperingatkan mereka terhadap keyakinan dan pemahaman bid’ah oleh kalangan ahli bid’ah tersebut.
Dakwah Sururiyyah pun berkembang. Dan –seperti pernah diungkapkan oleh Syaikh Ali Hasan bin Abdul Hamidvi– banyak yang berpemikiran sebagai Sururiyyah, tapi tidak mengenal siapa Muhammad Surur dan tidak tahu apa Sururiyyah itu. Banyak juga yang secara sadar menganut pemikiran tersebut karena mereka anggap sebagai paham yang paling realistis. Tapi sayangnya benyak pihak yang tidak bertanggungjawab kemudian menggunakan momen penting ini untuk kepentingan pribadi. Hasad, kedengkian, ambisi, dan kesombongan menjadi faktor utama yang mendorong mereka untuk menggunakan Sururiyyah sebagai peluru tembak. Kemudian diarahkan kepada siapa saja yang mereka kehendaki, bukan kepada siapa saja yang memang pantas dikecam dengan penyimpangan tersebut. Melalui kolom ini, penulis mengingatkan diri pribadi dan kalangan Salafiyyin di manapun berada, Bertakwalah kepada Allah. Sudahilah segala sepak terjang penuh dosa yang telah merenggut sekian banyak korban. Yang dengannya banyak keluarga mengalami perpecahan, anak bersikap durhaka kepada orang tua, suami dan istri bersengketa, kalangan penganut Ahlussunnah menjadi berpecah belah, dan masyarakat awam menjadi bingung hingga tidak sedikit yang tadinya ingin konsekuen dengan menjadi bingung hingga tidak sedikit yang tadinya ingin konsekuen dengan prinsip Ahlussunnah justru terjerumus ke dalam berbagai pengamalan sesat. Sadarlah, di manapun dan kapanpun kematian bisa saja merenggut kita, sewaktu-waktu. Oleh sebab itu, bertobatlah kepada Allah. Kembalillah menjadi generasi Ahlussunnah yang selalu mengikuti bimbingan para ulama secara ikhlas, mempelajari, mengamalkan dan mendakwahkan Al-Qur’an dan Al-Hadits menurut pemahaman para ulama As-Salaf.
Sebuah harapan…
Lewat tulisan ini penulis ingin menuangkan sebuah harapan, kepada semua pihak. Sebuah harapan yang semoga mendapat perhatian bersama demi langkah yang lebih menuju perjuangan yang semakin mantap dalam kebaikan.
Pertama: Wahai para saudaraku yang telah memproses diri menjadi para menganut keyakinan dan amalan Ahlussunnah; dari lubuk hati yang paling mendalam kami berharap, marilah kta saling memaafkan segala kesalahan dan kesilafan di antara kita. Bila benar, kita berkeinginan kuat mengikuti jejak para ulama as-Salaf, upayakanlah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar di antara kita dengan cara yang santun, penuh kasih dan keramahan. Karena bila tidak, setan akan menjerumuskan kita kepada pelbagai kekeliruan yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Allah hanya menyelamatkan orang-orang yang ikhlas…
Kedua: Wahai para saudaraku, marilah kita membangun kembali pilar-pilar dakwah Ahlussunnah yang sudah tercerai-berai karena ulah mereka yang lebih mengedepankan urusan peribadi. Yakinlah, bukan perbedaan keyakinan atau manhaj dakwah yang telah memisahkan kita, tapi kedengkian dan ambisi pribadi semata. Semua yang dianggap “kesalahan”, seberapa beratpun, hanyalah dosa-dosa yang seharusnya tidak membuat pelakunya ‘terdepak’ dari medan dakwah yang suci ini…
Ketiga: Kalaupun ada di antara kita yang melakukan kesalahan secara prinsipil, dalam aqidah sekalipun, banyak yang berpangkal dari ketidaktahuan. Kita sadar, kita memulai mempelajari dan mengamalkan manhaj Ahlussunnah Wal Jama’ah ini dari level yang sangat rendah, tanpa dukungan kultur dan kebiasaan yang mengakar kuat, sehngga wajar bila terjadi ketimpangan di sana sini. Perbaikilah kekeliaruan-kekeliruan itu dengan santun, dengan harapan semua yang melakukannya akan kembali ke jalan yang benar. Bukan dengan harapan mereka akan menolak dan bertahan dalam kekeliruan, sehingga menjadi pembela keyakinan dan metodologi bid’ah dalam arti yang seutuhnya…
Keempat: Sadarlah, bahwa para musuh Ahlussunnah memang mengharapkan terjadinya keretakan dan pertikaian di antara kita. Jangan membuat mereka bergembira karena hal itu.
Kelima: Jangan membuat bingung masyarakat awam yang baru saja hendak mulai mempelajari dakwah kebenaran. Jangan membuat opini bahwa dakwah Ahlussunnah itu sangat lekat dengan sikap kasar (bukan keras dan tegas), akhlak yang buruk dan pertikaian yang tiada henti di antara sesamanya.
Keenam: Jangan terperangkap bujukan setan untuk mendramatisir persoalan. Karena seremeh apapun persoalan yan diperdebatkan, bisa saja ditampilkan menjadi seolah-olah perseteruan dalam aqidah, ataun dalam hal yang baru-baru ini dianggap hebat dari persoalan aqidah oleh sebagian kalangan jahil, yaitu manhaj. Ingatlah, itu adalah tipu daya Iblis belaka. Persolalan terhebat dalam keyakinan Ahlussunnah tetap persolalan aqidah. Dan dalam persoalan inipun, sebagaimana yang kita ketahui bersama, ada kode etik dan kaidah-kaidah tertentu yang harus diterapkan, untuk bisa mengecam seseorang sebagai telah menjadi kafir karena kerusakan aqidahnya, sehingga harus dikeluarkan dari lingkaran Ahlussunnah. Inilah manhaj yang selalu dipegang oleh para ulama Ahlussunnah sepanjang zaman, yang menyebabkan mereka menjadi orang-orang mulia, disegani pihak kawan dan lawan. Sementara banyak di antara kita, dengan sikap keserampangan sikapnya, dengan sikap kasar dan tidak beretika, justru menjadi cemoohan pihak kawan dan lawan…
Kesimpulan:
1. As-Sururiyyah adalah sebuah alur pemikiran yang menyimpang dari pemikiran dan keyakinan Ahlussunnah.
2. Banyak ulama yang telah memperingatkan terhadap bahaya pemikiran sesat tersebut.
3. Banyak pula kaum muslimin yang salah memahami arti Sururiyyah, atau terbawa oleh orang yang salah dalam meyikapi, pemikiran tersebut, sehingga berlari dari satu bid’ah, menuju bid’ah yang lain yang bisa jadi lebih parah.
4. Adalah suatu kemestian untuk menjaga keikhlasan dalam upaya mempelajari, memahami, meyakini, mengamalkan dan mendakwahkan Kitabullah dan Sunnah Rasul menurut pemahaman Rasulullah dan para shabat serta ulama As-Salaf Ash-Shahih.
———————————
((Disadur dari buku Ada Apa dengan Salafi? Hal.259-270, Karya Abu Umar Basyir, Penerbit Rumah Dzikir, Sukoharjo))
——————————–
i Hadits sahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari II: 717, Muslim IV: 1712, At-Tirmidzi dalam Sunan-nya III: 475, Abu Dawud II: 333, Ad-Darimi dalam Sunan-nya II: 411, Ibnu Abdi Syaibah dalam Al-Mushannaf II: 190, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya X: 347, dan Ibnu Khuzaimah III: 349
ii Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya III: 384 dan Al-hakim dalam Al-Mustadrak I: 171
iii Yang kami maksud dengan “mereka” di sini bukanlah generasi Ahlussunnah, tapi adalah sekelompok orang yang sebelumnya getol mengkaji dan mempelajari aqidah, manhaj dakwah, dan pengamalan Ahlussunnah, kemudian meyempal, terjerumus dalam pemikiran sesat yang disebut pemikiran Ja’fariyyah. Istilah ini dinisbatkan kepada seorang bernama Ja’far Umar Thalib. Penganut pemahaman ahlussunnah yang kemudian berbelok menjadi muslim radikal ini mengusung berbagai pemikiran aneh. Saat ia berlari-lari dari satu pemikiran ke pemikiran yang lain, tetap saja di ikuti oleh banyak orang. Pemikiran pertamanya setelah menyempal dari keyakinan Ahlussunnah itulah yang kemudian dikenal sebagai pemikiran Ja’fariyyah. Meski ia sendiri telah meninggalkan pemikirannya tersebut, penganut pemikirang sesat itu masih banyak bertebaran. Sayang sekali mereka pun mengklaim sebagai Salafiyyin. Sebuah nama yang seharusnya dimiliki oleh kalangan Ahlussunnah, karena Salafiyyin artinya pengikut pemahaman ulama As-Salaf. Sementara mereka, secara keyakinan, metode dakwah, akhlak, dan pengamalan, amatlah jauh dari petunjuk ulama As-Salaf atau ulama As-Salafiyyin dahulu maupun kini.
iv As-Siraj Al-Waqqad fil bayan Tash-hih Al-I’tiqad hal. 100
v Pada awalnya ja’far Umar Thalib menggebu-gebu menyerukan perang terhadap Sururiyyah. Sayang, karena seruannya didasari oleh gila ambisi dan kedengkian terhadap sesama dai ahlussunnah, akhirnya dia sendiri terjerumus dalam pelbagai karakter Sururiyyah, antara lain:
1. Sempat tergila-gila dengan wawasan polotik praktis, terutama ketika sedang memobilisasi massa ke Ambon, berbagai majalis ilmiah pun terbengkalai.
2. Tidak mengindahkan banyak fatwa ulama, terutama yang berlawanan dengan kebijakannya. Sebut saja dalam pelbagai kasus di Ambon atau kasus perebutan masjid di Surakarta. Akhirnya, ia sendiri yang dikecam habis oleh ulama di Saudi Arabia.
3. Sempat melecehkan para ulama, si antaranya Syaikh Ali hasan Abdul hamid dan gurunya, Muhammad Nashiruddin al-Albani –rahimahullah.
4. sempat menuduh sebagian ulama tidak mengerti realitas di Indonesia (di antaranya Syaikh Al-Utsaimin –rahimahullah) sehingga dianggap keliru dalam berfatwa.
5. Melakukan beberapa tindakan polotis praktis, seperti orasi polotik, demonstrasi (yang sering ia yakini sebagai izhhaarul quwwah (pamer kekuatan di hadapan orang kafir)), juga mobilisasi massa besar-besaran sehingga menimbulkan ketakutan masyarakat awam.
6. Bersikap lembut terhadap ahli bid’ah, bahkan nyaman bekerja sama dengan pemikir dan penganut bid’ah saat mengadakan orasi akbar di Senyan Jakarta atau dalam kesempatan lain. Sementara itu ia enggan bekerjasama dengan kalangan ahlussunnah, kecuali yang selalu membenarkannya.
7. Sekarang justru bekerjasama dengan penganut bid’ah dalam memasyarakatkan dzikir berjama’ah yang hukumnya bid’ah. Kepadanya penulis menyeru secara tulus, “Saudara Ja’far, kembalilah ke jalan yang benar. Jadilah seperti Imam al-Asya’ari, meskipun kesalahannya dalam aqidah diikuti banyak orang, namun beliau akhirnya berlepas diri dari kesalahan tersebut. Saudara ja’far, melalui tulisan ini penulis ajak, mari kita bangun kembali pondasi-pondasi dakwah Ahlussunnah di Indonesia, seperti yang dahulu kita lakukan bersama. Demi Allah, penulis tidak pernah menaruh kebencian terhadap Anda atau siapapun yang bersama Anda, meski penulis pernah merasakan betapa sedihnya salam dan sapaan penulis tidak dijawab oleh sebagian pengikut anda, dicemooh, dan sikap tidak mengenalan lainnya. Demi Allah, semua itu tidak menanamkan kebencian pada diri penulis terhadap kalian, seujung rambut pun, kecuali terhadap kesalahan dan keserampangan yang kalian lakukan. Bila kalian kembali, betapa bahagianya kami. Penulis juga sadar, betapa kami juga tidak akan lepas dari berbagai kesalahan. Bila semua kesalahan itu dijelaskan di hadapan kami, dan bila semua itu benar, kami bersedia meninggalkan segala kesalahan itu. Kita bisa melakukan amar ma’ruf nahi munkar secara lebih santun. Kami sampaikan segala isi hati kami ini, semoga semua yang terjadi akan berakhir dengan kebaikan. Kemudian, segalanya kami serahkan kepada allah ‘Azza wa jalla.
vi Sebagian pihak yang berpemahaman Sururiyyah (tapi mereka tidak menyadarinya), amat membenci profil ulama yang satu ini. Mereka menuduh kalangan Salafiyyin di Indonesia bertaklid kepada Syaikh Ali Hasan dan gurunya Nashiruddin Al-Albani –rahimahullah. Berbagai tuduhan keji mereka lontarkan terhadap kalangan Ahlussunnah. Kelompok ini menyamaratakan antara kalangan Ahlussunnah secara umum dengan kelompok sesat Ja’fariyyah yang memang mengklaim sebagai Ahlussunnah; semuanya diruduh sebagai kelompok sempalan yang sesat. Mereka tidak menyadari, betapa kalangan salafiyyin amatlah amatlah dekat dengan para ulama ulama Ahlussunnah, bukan hanya Syaikh Al-Albani dan Syaikh Ali Hasan. Ketika sebagian di antara ulama itu datang ke Indonesia, adakah orang-orang itu pernah bertandang dan menimba ilmu dari para ulama tersebut? Justru kalangan Salafiyyin yang kerap berhubungan dan melakukan kontak langsung dengan para ulama, menanyakan berbagai hal, dan mengundang sebagian mereka atau setidaknya murid-murid mereka untuk memberikan kajian ilmiah di Indonesia.
sumber: http://www.almanhaj.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar